Pages

Rekonstruksi Cermin Hina

Minggu, 29 Maret 2015

Jangan pedulikan cermin yang pecah
Menyentuhnya hanya akan membuatmu terluka
Berkaca padanya hanya akan membuatmu terlihat buruk rupa
Kecuali, jika kamu
Rela terluka karena ingin memperbaikinya
Bersedia terlihat buruk rupa karena bercermin padanya
Dan untuk tahu bahwa tidak ada yang sempurna,
tapi kamu telah berusaha membuatnya sempurna
seperti cermin lainnya.

Jenuh


Dia menghadirkan senyum dan tawa ketika kau memberi begitu banyak luka.
Dia menghangatkan ketika dingin menerpa dari pelukmu yang tak lagi ada.
Apa yang harus kupertahankan untukmu? Jika semua bahagiaku sudah beralih padanya.
Apa yang kubutuhkan darimu? Jika semua sudah dipenuhi olehnya.
Dia yang kini mengisi ruang kosong penuh luka kemudian menyembuhkannya.
Aku tak bicara bahwa kamu bukan lagi satu-satunya.
Tapi aku tak memiliki alasan untuk pergi ataupun menetap untukmu.
Kita berada diawang-awang, mengambang.
Melompat tak sanggup, jatuh pun tak ingin.
Tak pernah kita alami melompat setinggi-tingginya, karena kita terlalu takut untuk jatuh sejatuh-jatuhnya.
Menetap di antara keduanya hanya memberi kekosongan dan rasa hampa.
Tanpa tantangan dan gejolak yang membuat hati tergerak.
Itu yang membuat hati kita beku. Bersama, namun kaku dan terpaku.


Aku Ingin Kamu Pulang


Aku ingin tahu, seberapa jauh kamu mau melangkah menujuku. Aku akan tetap diam, menunggu akankah kamu benar-benar akan datang atau langkahmu hanya sebuah gurauan. Entah sudah berapa hari bahkan tahun berlalu sejak perpisahan itu, yang katamu hanya sementara, tapi kupikir ini sudah cukup lama. Kamu berjanji akan datang, kembali ke tempat ini dengan membawa setumpuk rindu yang telah lama membelenggu. Berjanji untuk membawaku kemanapun kamu akan melalui harimu. Berjanji untuk menggenggam tanganku agar aku bisa tetap berada di sampingmu. Berjanji untuk memelukku di saat bahaya dan dingin menyerangku. Tapi semua ini rasanya hanya menjadi sebuah ironi dari ilusi-ilusiku sendiri. Kamu tidak memberi kabar. Kamu tidak datang. Bahkan di saat waktunya sudah tiba dan terlewat. Harus bagaimana aku? Aku ingin membawamu pulang, kembali di sini bersamaku mengisi hari, juga sela-sela jemari saat perjalanan jauh mulai kita tempuh. Rindu dan dinginnya kesendirianku ingin segera kurebahkan ke tubuhmu. Untuk kamu di waktu yang tak tentu agar kita bisa bertemu, aku hanya ingin kamu pulang. 

Satu untuk F

Rabu, 15 Oktober 2014


Aku terbangun di sofa dengan menggenggam mawar. Mataku masih belum terbuka lebar, tapi aku melihatmu. Di sudut mataku yang lain. Benar, aku melihatmu tersenyum bahagia dengan memegang tangan laki-laki. Tapi itu bukan aku. Siapa dia? Kenapa bukan aku yang di sana? Mataku berair. Aku tak yakin ini air mata. Aku tidak pernah menangis. Apalagi karena wanita. Tapi nyatanya, ini sungguh air mataku. Untuk pertama kalinya jatuh untukmu. Wanita yang selama ini kuanggap biasa saja. Tapi itu sebelum aku kenal hatimu. Hatimu yang sederhana namun meneduhkan. Hatimu yang rendah namun menenggelamkan. Hatimu yang tenang namun menghanyutkan. Bagaimana bisa? Mudah sekali kau mencuri perhatianku yang tak pernah ada untukmu hanya dengan hatimu. Hatimu yang tak mampu ku lihat secara nyata tapi kurasakan adanya. Kau bukan sosok wanita yang kuimpikan selama ini. Bahkan kau bukan termasuk dalam daftar wanita yang ingin kukenal. Kau bukan siapa-siapa. Tapi kuakui kini ku jatuhkan hatiku padamu. Sayangnya kau tak menangkapnya. Ini semua karena kesombonganku. Keangkuhan tanganku tak mampu menggenggam lembutnya hatimu. Begitu juga kegagahanku tak mampu melawan kenyataan ini. Kau dengan laki-laki lain.
Mataku mulai terbuka lebar. Terlihat jelas aku masih di sini. Aku tersadar. Mawar ini masih ku genggam. Aku hanya bermimpi. Kehilanganmu hanya akan menjadi mimpi. Mendapatkanmu adalah nyata. Aku bergegas berdiri, berlari, berharap kau masih di sana menungguku.

Malang, 9 Oktober 2014, 19.35


 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS