Banyak waktu berharga yang terlewat dengan sia-sia, namun kita berpura-pura
tetap merasa baik-baik saja. Air mata rasanya sudah kering, bosan dengan rasa sakit
yang ada karena kesalahan yang sama. Kamu diam, sedang akupun serasa ingin
berhenti berjuang. Akan bagaimana kita? Mungkin aku masih bisa melakukan segala
kegiatan, tapi tanpa perasaan, hampa. Aku sedang mencoba mencari celah mana
yang bisa kita perbaiki. Tapi kamu begitu dingin, seakan enggan memperbaiki
lagi. Aku mulai muak hingga terpikir untuk mencari yang lain. Sayangnya,
kepadamu aku jatuh begitu dalam. Benar-benar tidak masuk akal! Tentangmu adalah
candu yang menyebalkan, membuat rindu yang berkepanjangan. Sial!
Kepada Skripsi
Jumat, 22 September 2017
Minggu, 29 Maret 2015
Jangan pedulikan cermin yang pecah
Menyentuhnya hanya akan membuatmu terluka
Berkaca padanya hanya akan membuatmu terlihat buruk rupa
Kecuali, jika kamu
Rela terluka karena ingin memperbaikinya
Bersedia terlihat buruk rupa karena bercermin padanya
Dan untuk tahu bahwa tidak ada yang sempurna,
tapi kamu telah berusaha membuatnya sempurna
seperti cermin lainnya.
Menyentuhnya hanya akan membuatmu terluka
Berkaca padanya hanya akan membuatmu terlihat buruk rupa
Kecuali, jika kamu
Rela terluka karena ingin memperbaikinya
Bersedia terlihat buruk rupa karena bercermin padanya
Dan untuk tahu bahwa tidak ada yang sempurna,
tapi kamu telah berusaha membuatnya sempurna
seperti cermin lainnya.
Jenuh
Dia menghadirkan
senyum dan tawa ketika kau memberi begitu banyak luka.
Dia
menghangatkan ketika dingin menerpa dari pelukmu yang tak lagi ada.
Apa yang harus
kupertahankan untukmu? Jika semua bahagiaku sudah beralih padanya.
Apa yang
kubutuhkan darimu? Jika semua sudah dipenuhi olehnya.
Dia yang kini
mengisi ruang kosong penuh luka kemudian menyembuhkannya.
Aku tak bicara
bahwa kamu bukan lagi satu-satunya.
Tapi aku tak
memiliki alasan untuk pergi ataupun menetap untukmu.
Kita berada
diawang-awang, mengambang.
Melompat tak
sanggup, jatuh pun tak ingin.
Tak pernah kita
alami melompat setinggi-tingginya, karena kita terlalu takut untuk jatuh
sejatuh-jatuhnya.
Menetap di
antara keduanya hanya memberi kekosongan dan rasa hampa.
Tanpa tantangan
dan gejolak yang membuat hati tergerak.
Itu yang membuat
hati kita beku. Bersama, namun kaku dan terpaku.
Aku Ingin Kamu Pulang
Aku ingin tahu, seberapa jauh
kamu mau melangkah menujuku. Aku akan tetap diam, menunggu akankah kamu
benar-benar akan datang atau langkahmu hanya sebuah gurauan. Entah sudah berapa
hari bahkan tahun berlalu sejak perpisahan itu, yang katamu hanya sementara,
tapi kupikir ini sudah cukup lama. Kamu berjanji akan datang, kembali ke tempat
ini dengan membawa setumpuk rindu yang telah lama membelenggu. Berjanji untuk
membawaku kemanapun kamu akan melalui harimu. Berjanji untuk menggenggam
tanganku agar aku bisa tetap berada di sampingmu. Berjanji untuk memelukku di
saat bahaya dan dingin menyerangku. Tapi semua ini rasanya hanya menjadi sebuah
ironi dari ilusi-ilusiku sendiri. Kamu tidak memberi kabar. Kamu tidak datang.
Bahkan di saat waktunya sudah tiba dan terlewat. Harus bagaimana aku? Aku ingin
membawamu pulang, kembali di sini bersamaku mengisi hari, juga sela-sela jemari
saat perjalanan jauh mulai kita tempuh. Rindu dan dinginnya kesendirianku ingin
segera kurebahkan ke tubuhmu. Untuk kamu di waktu yang tak tentu agar kita bisa
bertemu, aku hanya ingin kamu pulang.
Langganan:
Postingan (Atom)